Category : Berita

Oleh: Zaki Mubarak

Seorang professor menghentak saya. Di sebuah ruang kelas, dia bertanya. “Kenapa Anda harus kuliah? Bukankah itu merumitkan. Sudah membayar mahal, harus mengerjakan tugas, harus mengorbankan waktu, mengorbankan keluarga dan apakah Anda yakin bisa lebih baik? Bukankah lebih nikmat jadi orang terdahulu. Tinggal di gua, lapar tinggal keluar lalu mencabut ubi kayu dan rame-rame memakannya bersama keluarga. Tidak ada beban. Alam pun tidak dirusak atas nama peradaban manusia.”

Lama saya memikirkan ceramah pembuka tersebut. Ada benarnya, ada juga yang tidak disepakati. Saya menyepakati bahwa benar manusia jaman dahulu berdamai dengan alam. Mereka hidup layaknya binatang lain yang mengikuti arus alam dan tak pernah neko-neko terhadap alam. Hidup tentram tanpa memikirkan dunia yang pada akhirnya akan merusak alam sendiri. Definisi “maju” yang seolah menjadi peradaban modern pada akhirnya akan ada korban yang terdholimi. Mereka adalah alam. Tempat dimana sesungguhnya manusia itu hidup. Rusak alam, rusak juga manusianya.

Namun, saya tidak sepakat jika kita tidak berupaya untuk mengelola alam. Jika ilustrasi di atas saya benarkan semuanya, maka Saya, Anda dan Kita tak ubahnya seperti binatang saja. Mereka tak pernah berjuang untuk membangun peradaban. Cukup menerima apa adanya alam tanpa rekayasa, cukup berebut ruang kekuasaan dengan kelompok manusia lain tanpa menggunakan kemampuan tingkat tinggi dari manusia bernama nalar. Ingat kita itu “Alien” pertama yang mengunjungi bumi. Kita lahir di surga dan diturunkan oleh Allah ke bumi yang mana sudah ada penduduknya (QS 2:31). Kita itu Alien yang sesungguhnya memiliki perbedaan mencolok dari binatang terdahulu (QS 95:4). Jadi, naïf juga kalau kita menerima tanpa berupaya.

Lantas, bumi itu miliki siapa? Jika kita Alien (mahluk asing), maka sesungguhnya kita bukan pemilik tunggal. Dalam beberapa teks keagamaan, kita diberi tugas sebagai kholifah, di teks yang lain kita dan mahluk lain bernama Jin adalah mahluk yang diberi tugas berat yakni untuk ibadah dengan wasilah hidup di bumi ini. Jadi begitu berat tugas manusia sehingga instrument fisiknya berbeda dengan kebanyakan binatang lain. Lihat saja, begitu beda kita dengan binatang lain, baik dari sudut fisik hingga fungsi seluruh organ tubuhnya.

Karena kita bukan mahluk tunggal, sejatinya tak boleh egois dalam memperlakukan bumi dan alamnya. Sejak Nabi Adam diturunkan di bumi dan bani (keluarganya) menyebar luas ke seluruh bumi terjadi pembukaan lahan secara massif. Para binatang mengalah dan mereka pergi dari tempat dimana manusia tinggal. Memang ada pertempuran terdahulu, tapi dengan akal yang sehat manusia bisa mengalahkan semuanya. Di sini pula manusia bisa membangun komunitas sekaligus membangun peradaban. Namun patut diakui, manusia memiliki penyakit perusak bernama egoisme.

Egoisme manusia adalah “anak” tunggal yang dilahirkan dari keistimewaan Bani Adam ini. Merasa menjadi pemimpin, dibekali organ tubuh yang istimewa, mampu berkomunikasi dengan baik, maka mereka berbuat sesukanya. Alam selalu menjadi objek, padahal mereka juga “hidup” layaknya manusia. Lihatlah sejarah Kaum ‘Ad yang menduduki Iram (QS 89: 7) dengan bangunan yang sangat megah. Jika dilihat narasinya, Allah menunjukan bahwa bangunan itu sangat wah dibanding dengan negeri lain. Mungkin juga lebih bagus dari bangunan modern saat ini. Ayat selanjutnya berceria kaum Tsamud dan Firaun yang mana mereka dibinasakan karena dua hal penting yakni: (1) berlaku sewenang-wenang dan (2) berbuat banyak kerusakan (QS 89: 11-12). Kedua faktor itu lahir dari egoisme manusia yang parah akut.

Lantas, apakah alam akan membalas jika manusia egois? Sebuah meme lucu menjawab pertanyaan saya. Narasi yang dibuatnya adalah: “Saat tahun baru, manusia menyerang langit dengan petasan dan ‘bomb’. Lalu langit membalas menyerang dengan hujan yang membuat Jabodetabek banjir.” Terdengar ringan dan komedi. Tapi, saya rasa ada benarnya juga. Orang Ibukota menyerang langit seolah langit adalah alam yang tak berdaya. Petasan yang memerahkan telinga bisa jadi membangunkan langit yang sedang tidur dan menyimpan airnya. Kita sebut kemarau. Manusia tidak sadar, langit pun bisa menangis berurai air hujan. Hingga serangan banjir itu dilakukan agar manusia sadar.

Dulu, Jabodetabek adalah kawasan rawa masa lalu dan sekarang rawa itu “dijajah” oleh manusia untuk hunian. Lihat saja nama-nama Jakarta penuh dengan nama “rawa”, misal Rawamangun. Rawa adalah hunian air, maka jangan salahkan air yang ingin kembali menghuni rumahnya. Toh lahan itu tempat air berdiam. Saat ini, aspal, batu, semen, telah mengeraskan tanah untuk tidak menerima air sebagai minumnya. Mereka kering dan airpun di usir ke kali. Kalau airnya kecil tak apa, kalau besar maka akan jadi bencana. Tahun baru 2020 pula menjadi saksi bagaimana alam mengamuk untuk manusia. Masalahnya, manusia bisa sadar gak sih?

Coba kalau kita sedikit tak egois. Masih banyak wilayah lain yang bisa ditinggali. Ada banyak pegunungan yang belum banyak penghuninya. Ada banyak wilayah yang ingin ada peradaban yang belum disentuh oleh manusia. Cobalah kita berubah dari “logika alun-alun” yang semuanya harus Jakarta. Kasian Ibu kota, sudah begitu beban berat manusia yang ditanggung belum lagi maksiat yang meraja lela.

Oh itu susah. Tidak, tidaklah susah. Tinggal ada political will dari pemimpin untuk membangun daerah lain agar pancasila sila keempat bisa direalisasi. Agar orang beradab bisa menyebar dan membangun bumi dengan pengetahuan lingkungan hidup yang mumpuni. Bukan lingkungan hidup yang jadi jargon, bukan pula hanya menjadi mata pelajaran yang membosankan atau menjadi syarat administrasi yang kocak mirip Amdal. Lingkungan alam yang membuat manusia harus menghargai alam dan berdamai dengan kehidupan alam yang ditempatinya. Peluklah alam layaknya kekasih yang dibelai penuh cinta. Perlakukan dengan adil, karena sesungguhnya kita hidup telah “menikah” dengan alam. Salah satu egois, maka yang lain akan membencinya. Bukankah tujuan menikah itu sakinah mawaddah wa rohmah. Tenang, Saling cinta, dan saling sayang. Mau bumi menceraikan kita, mau kemana lagi kita?